KONSEP PUISI/KEPENYAIRAN

Bagi ZA. Mathikha Dewa, puisi lebih banyak dibuat sebagai 'penyeimbang' jiwa yang goncang oleh keadaan yang terjadi di sekitarnya. Keadaan itu bisa berawal dari keputus-asaan, bisa juga dari 'kebahagiaan' yang berlebihan, atau apa saja. Namun pada umumnya lebih disebabkan dari kekecewaan yang membutuhkan penyeimbangan berupa sajak atau puisi itu.

Pada awalnya, (dan mungkin hingga kini), puisi-puisi ZA. Mathikha Dewa masih dipengaruhi oleh terutama: Chairil Anwar dan WS. Rendra. Kebebasan sang fenomenal Iwan Fals pun ikut mempengaruhi puisi-puisi karya sang penyair internet ini. Demikian pula dari penyair-penyair Indonesia lainnya seperti: Emha Ainun Nadjib, Taufiq Ismail, Sutardji, dan penyanyi Ebiet G. Ade ataupun Katon Bagaskara serta puisi-puisi lepas di media massa dari penyair-penyair yang tidak punya nama sekalipun. Inilah awal pencarian jati diri sang penyair internet ini di kehidupan nyata sebelum memasuki apa yang disebut olehnya sebagai "kepenyairan internet".

Sekalipun demikian, sang penyair ini memiliki konsep penulisan puisi sendiri yang berfalsafah pada 'segala sesuatu bisa dipandang sebagai puisi'. Batu yang diam adalah sebuah puisi juga. Teks yang Anda baca ini, dari pelbagai sudut adalah 'dapat dipandang' sebagai puisi juga. Bahkan sang penyair adalah 'suatu puisi' juga. Ketika tangan menggerakkan mouse Anda maka itu adalah 'puisi'. Siapakah Sang Pencipta 'puisi-puisi' ini? Tak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita sekedar 'puisi' yang diciptakan. Maka sang penyair beranggapan bahwa kita tidak bisa menciptakan puisi. Kita hanya bisa menterjemahkan 'puisi-puisi' tersebut yang dituangkan dalam pemikiran kita ke bentuk puisi yang berupa syair. Adapun pemakaian istilah 'mencipta', 'membuat' dan sebagainya, itu adalah dalam porsi kita sebagai 'yang diciptakan'.

Maka seorang ZA. Mathikha Dewa yang 'berpikiran praktis' juga, mempunyai suatu 'ketakutan' yang amat mendalam terhadap Tuhan untuk apa saja kegiatan yang dilakukannya termasuk puisi. Meski kadang 'masih' bersandar pada kalimat 'Tuhan kan Maha Tahu. Maha Mengerti'. Namun tak ingin ini dijadikan senjata. Kecuali dalam kebuntuan pikiran maka segala sesuatu pun 'dipasrahkan' oleh 'Kehendak' dan 'Ke-Maha Tahu-an' Tuhan itu kembali.

Namun pada prinsipnya, semua itu senantiasa dilandasi dengan 'keluhuran' dan 'niat baik'. Maka kesalahan manusiawi, jika tak terhindarkan lagi menjadi suatu 'pelajaran' yang berharga dalam kehidupan ini.

Konsep lain dari puisi-puisi ZA. Mathikha Dewa, bersandarkan pada 'kesederhanaan' yang 'mungkin' (?) ini dianut juga oleh Kyai Kanjeng Emha Ainun Nadjib dalam persepsi dan pemahaman masing-masing. Oleh sebab itu, apapun akhirnya, maka pemahaman ini adalah sekedar pemahaman dari seorang ZA. Mathikha Dewa sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya.

Demikian pula konsep 'kebebasan'. Penyair berusaha menuangkan segala sesuatu sebebas-bebasnya ke dalam puisi, tentu juga masih menurut persepsinya sendiri tentang 'kebebasan' itu.

Jadi ada 3 yang menjadi konsep puisi ZA. Mathikha Dewa yakni: (1) konsep bahwa sesuatu dapat dipandang sebagai puisi, (2) konsep 'kesederhanaan' dan (3) konsep 'kebebasan'. Namun ZA. Mathikha Dewa masih terbuka dalam 'mencari' dan 'menerima' konsep-konsep lain bagi penulisan puisinya dalam perjalanan kehidupannya dalam dualisme yang dianut sebagai 'penyair' (dalam dunia internet) dan 'bukan penyair' (dalam kehidupan nyata).

Konsep ini senantiasa dapat berubah sesuai perkembangan jiwa dari sang Penyair Internet ini. Karena menyadari, tak sesuatupun abadi di dunia ini.

September, 1998.


Halaman ini bisa diupdate sewaktu-waktu.

Pengelola